Seperti pagi hari biasanya ketika itu adalah jam kerja,
saya bangun, mandi dan bergegas untuk bekerja, dan tidak lupa membawa bekal
untuk siang harinya. Ya, sebuah rutinitas yang telah dijalani. Tapi lebih
kurang sebulan, malas, tidak bersemangat, jengkel telah bercampur menjadi satu
rasa yang sulit untuk saya tulis disini. Kali ini saya terbangun dan ternyata
jam masih menunjukan pukul 01.00 WIB dini hari, masih ada 6 jam lagi untuk
menjalani rutinitas. Tak bisa memejamkan mata, maka saya coba kembali menulis,
hitung-hitung ngisi blog yang sudah lama gak update lagi :). Tulisan ini bukan
tulisan formal, memikirkan judulnya saja tidak terfikirkan, bukan pula tentang
sebuah tulisan kritik kepada para birokrat pemerintah, tapi mungkin akan lebih
tepat tentang sebuah keresahan tentang beban pikiran, walaupun saya tidak mau tulisan
ini dianggap sebagai tulisan curhat.
Mengutip sebuah tulisan dari
sebuah buku karangan Gede Prama yang berjudul Jejak-Jejak Makna dimana didalam
halaman persembahan tertulis “kalau saja
jarum jam bergerak kebelakang, Aku ingin lahir kembali dari kandunganmu lagi
Ibu, Aku ingin engkau membimbing lagi Ayah, Aku ingin menikahimu lagi Istriku,
dan Aku inggin menggendongmu lagi Anak-anakku”, atau sebuah bait puisi dari
Soe Hok Gie yang mengatakan “Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah berumur tua”. Kedua tulisan tersebut memang berbeda
tapi sediikit ber-irama karena jelas kita ini sebagai manusia, hidup, dan
menjalani kehidupan, tidak lepas dari permasalahan yang ada disekitar diri kita
sendiri,. Dan terkadang semua diawali dari pikiran diri kita sendiri.
Saat saya duduk dibangku Sekolah
Dasar,dipikiran sangat begitu ingin untuk duduk dibangku SMP, berlanjut ke-SMA,
hingga bangku kuliah, dan bekerja. Kita sendiri tidak menyadari bahwa setiap
proses tahapan yang kita lalui mestinya juga diiringi dengan sebuah proses
pendewasaan dalam berfikir, bersikap dan dipengaruhi oleh lingkungan. Dan
secara tidak langsung sebuah proses pembangunan prisip dan idialisme didalam
diri akan tumbuh.
Bingung mau dilanjutin kemana ini
tulisan, yang jelas jika saat ini saya ataupun anda adalah manusia dewasa
tentunya kita menyadari bahwa setiap bertambah usia seorang umat manusia maka
semakin bertambah tanggungjawab yang harus dijalani. Menyerah pada sebuah kondisi bukanlah suatu
prinsip, tapi berfikir secara logis adalah sebuah keharusan, manusia adalah
makhluk sosial, yang tidak luput dari walaupun secuil perasaan, dan manusia
bukan mesin pekerja yang siap menerima apa adanya. Kondisi dan tuntutan ekonomi adalah hal yang
musti harus diselesaikan tapi bertahan pada sebuah ketidaknyamanan itu bukanlah
manusiawi, diasingkan atau hidup dalam kemunafikan. Materi (uang/pendapatan)
bukanlah ukuran kebahagiaan tapi yang terpenting berada disekitar orang-orang
yang selalu memberikan senyuman adalah kebahagiaan.
Satu paragraf diatas adalah sisi
kegelisahan saya saat ini tentang rutinitas yang saya jalani saat ini, bekerja
setiap harinya, melalui persimpangan yang sama, dihadapan sebuah monitor tua,
dengan kertas-kertas yang sama, dan sebuah tekanan dan perlakuan tidak adil
yang saya rasakan. Baru genap satu bulan saya di angkat menjadi karyawan tetap
setelah satu tahun, tapi kali ini saya memutuskan untuk keluar, karena saya
beranggapan bahwa sebuah hal yang tidak dapat saya terima jika mayoritas dalam
satu hari kehidupan hanya dibebani oleh hal-hal ketidaknyamanan, tekanan, dan
beban pikiran yang besar. Realistis itu adalah penting, tapi saya percaya
manusia hidup didunia, diciptakan oleh Tuhan, dan menjalani kehidupan bukanlah
untuk sebuah keresahan karena hidup ini hanya satu kali.